Kamis, 02 Mei 2013

Sejarah Hukum Agraria Sebelum Berlakunya UUPA



Sejarah Hukum Agraria Lama Bersifat Dualistis

Sejarah Hukum agraria yang berlaku sebelum Indonesia merdeka masih menggunakan hukum barat  yaitu Agrarische Wet  yang memberikan jaminan hukum kepada pengusaha swasta, dengan Hak Erpacht dan Agrarische Besluit yang melahirkan azas Domein Verklaring dimana semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak Eigendom nya adalah domein atau milik negara. Maka tanah-tanah diatur dengan hak-hak barat seperti tanah eigendom, tanah erfacht, tanah postal dan lain-lain. Sedang tanah-tanah yang dikenal dengan hak-hak Indonesia adalah tanah-tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah gogolan, tanah bengkok, tanah agrarich eigendom 

Sejarah Hukum agraria barat tersebut hanya mengatur sebatas perbuatan-perbuatan hukum yang dimungkin terhadap tanah-tanah yang berasal dari hukum agraria barat. Sehingga tanah eigondmom misalnya tidak dapat digadaikan menurut hukum agraria adat.
Sejarah Hukum agraria saat itu belum sepenuhnya mengatur tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia, meski ada beberapa tanah-tanah agrarisch eigendom milik kota Yogyakarta, Surakarta, dan tanah-tanah grant di Sumatra Timur.

Sejarah Hukum agraria adat mengatur tanah-tanah di Indonesia sepanjang tidak diadakan ketentuan khusus untuk hak-hak tertentu. Karena tidak semua tanah-tanah Indonesia adalah tanah-tanah yang mempunyai status sebagai hak-hak asli adat, tetapi ada juga yang berstatus buatan Belanda seperti tanah agrarisch eigondom. Hak tersebut ialah hak milik, yaitu hak Indonesia yang subjeknya terbatas pada orang-orang dari golongan Timur Asing, terutama Timur Asing Tionghwa.


Sejarah Hukum Agraria Barat Berjiwa Liberal Individualitis

Sifat Individualistis dalam sejarah hukum agraria ini dapat diketahui dalam pengertian tentang hak eigendom sebagai hak atas benda yang penuh dan mutlak.  Hak eigendom adalah hak yang memberi wewenang  penuh untuk menikmati penggunaan tanah untuk berbuat bebas terhadap tanah itu dengan kekuasaan penuh, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang ditetapkan oleh badan-badan penguasa yang berwewenang dan tidak mengganggu hak-hak orang lain.
Sejarah Hukum agraria barat dengan jelas   menempatkan hak eigendom telah memberi wewenang kepada pemilik tanah yang bisa berbuat bebas dengan tanah yang dimilikinya. Dengan hak tersebut pemilik tanah bisa berbuat bebas untuk mempergunakan maupun tidak. Oleh karena itu hukum agraria barat ini tidak dapat terus dipertahankan.

Sejarah hukum agraria lama tersebut  dalam banyak hal, tidak merupakan alat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur, bahkan merupakan penghambat pencapaiannya. Hal itu terutama disebabkan karena :
  • Sejarah Hukum agraria lama itu sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan, sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat didalam melaksanakan pembangunan nasional.
  • Sejarah Hukum agraria lama bersifat dualisme, yaitu berlakunya peraturan hukum adat disamping peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat.
  • Bagi rakyat asli sejarah hukum agraria penjajahan tidak menjamin kepastian hukum seluruh rakyat Indonesia.
Dari sejarah hukum agraria yang telah dijelaskan diatas diketahui bahwa hukum agraria sebelum terbentuknya UUPA lebih menguntungkan bagi pemerintah hindia-belanda yang pada saat itu membuat pengundangan Agrarische wet (1870). Seperti yang diketahui bahwa Agrarische wet terbentuk atas adanya desakan para pengusaha swasta asing yang menanamkan modalnya di hindia belanda, sebab dengan adanya pasal 62 ayat 1,2, dan 3 (Regering Reglement) mereka sulit mendapatkan tanah yang luas dengan jangka waktu yang lama dan hak atas tanah yang kuat maka dari itu lahirlah Agrarische wet tahun 1870 tersebut.

Lalu dualisme hukum yang dianut oleh sejarah hukum agraria lama mengakibatkan ketidakpastian bagi sejarah hukum agraria adat karena tanah-tanah barat didaftarkan, terdapat lembaga kadaster namun bagi tanah-tanah adat tidak didaftarkan sehingga tidak dapat dibuktikan sebagai tanah-tanah adat dan menjadi domein Negara (milik Negara), adanya asas domein verklaring tersebut berarti Negara bisa berbuat apa saja atas tanah. Untuk lebih jelasnya bisa juga melihat/memperhatikan diktum UUPA (UU No.5/1960) mengenai peraturan perundang-undangan yang dicabut, kita dapat mengetahui sejarah hukum agraria mana saja yang pernah berlaku dinegara kita sebagai bahan analisis dan perbandingan.

Kesimpulannya bahwa sejarah hukum agraria barat bertitik tolak dari pengutamaan kepentingan pribadi sehingga pangkal dan pusat pengaturan terletak pada eigendom-recht (hak eigendom) yaitu pemilikan perorangan yang penuh dan mutlak, disamping domein verklaring (pernyataan domein) atas pemilikan tanah oleh Negara. Hukum adat tanahnya sebagai bagian terpenting dari hukum adat, bertitik tolak dari pemungutan kepentingan masyarakat (komunalistis) yang berakibat senantiasa memperimbangkan antara kepentingan umum dan kepentingan perorangan. 

Perlu adanya usaha penyesuaian sejarah hukum agraria kolonial dengan keadaan dan keperluan sesudah lahirnya UUPA atau sesudah kemerdekaan yaitu yang pertama adalah menerapkan kebijaksanaan baru terhadap UU keagrariaan yang lama, melalui penafsiran baru yang sesuai dengan situasi kemerdekaan, UUD 1945, dan dasar Negara pancasila. Dalam tanah-tanah yang statusnya adalah sebagai domein Negara sebaiknya juga dipergunakan secara baik untuk dikelola dan demi kesejahteraan rakyat. Jadi asas domein veklaring tersebut bukanlah semata-mata Negara mengusai tetapi Negara hanya mengelola demi kesejahteraan rakyat
.
Pada masa penjajahan jepang, sejarah hukum agraria yang berlaku sebelum masa penjajahan Jepang masih tetap berlaku, karena masa penjajahan yang begitu singkat belum sempat terpikirkan untuk mengadakan perombakan terhadap hukum agraria. Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang sejarah hukum agraria pada jaman Jepang, keculai kekacauan dan keadaan yang tidak menentu terhadap penguasaan dan hak- hak atas tanah sebagaimana layaknya pada keadaan perang. Pemerintah jepang dalam melaksanakan kebijakan pertahanan dapat dkatakan hampir sama dengan kebijakan yang pemerintah hindia belanda. Penduduk jepang mengeluarkan suatu kebijakan yang dituangkan dalam Osamu Serey nomor 2 tahun 1944, dan Osamu Serey yang terakhir nomor 4 dan 25 tahun 1944.
           


8 komentar:

  1. sangat menambah wawasan ,, like it...

    saya ingin bertnya: bagi masyarakat yang menerapkan hukum adat, tatkala memliki kepentingan yang berkaitan dengan tanah.
    apakah tidak ada kekuatan hukum (kepastian hukum) mengenai tanah yang di batasi dengan ada nya lembaga kadaster itu ??

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih atas, komentarnya. setahu saya dengan keptutusan MK no 35, masyarakat adat punya kewenangan untuk menentukan kawasan adatnya

      Hapus
  2. solusinya dari maslah dualisme ini?

    BalasHapus
  3. saya ingin bertanya mengapa ketentuan hukum yang mengatur pertanahan di Indonesia pada masa sebelum berlakunya UUPA bersifat pluralistis dan dualistis!

    BalasHapus
  4. Saya ingin bertanya apa perbedaan uud 1945 pasal 33 ayat 3 dengan peryataan domein veklaring

    BalasHapus
  5. Mengapa ketentuan hukum yang mengatur pertanahan di Indonesia pada masa sebelum berlakunya UUPA bersifat pluralistis dan dualistis!

    BalasHapus
  6. Mengapa ketentuan hukum yang mengatur pertanahan di Indonesia pada masa sebelum berlakunya UUPA bersifat pluralistis dan dualistis!

    BalasHapus