Sejarah Hukum Agraria Lama Bersifat Dualistis
Sejarah Hukum agraria yang berlaku sebelum Indonesia merdeka masih menggunakan hukum
barat yaitu Agrarische Wet yang memberikan jaminan hukum kepada pengusaha
swasta, dengan Hak Erpacht dan Agrarische Besluit yang melahirkan azas Domein
Verklaring dimana semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai
hak Eigendom nya adalah domein atau milik negara. Maka tanah-tanah diatur dengan
hak-hak barat seperti tanah eigendom, tanah erfacht, tanah postal dan
lain-lain. Sedang tanah-tanah yang dikenal dengan hak-hak Indonesia adalah
tanah-tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah gogolan, tanah bengkok,
tanah agrarich eigendom
Sejarah Hukum agraria barat tersebut hanya mengatur sebatas perbuatan-perbuatan hukum
yang dimungkin terhadap tanah-tanah yang berasal dari hukum agraria barat. Sehingga
tanah eigondmom misalnya tidak dapat digadaikan menurut hukum agraria adat.
Sejarah Hukum agraria saat itu belum sepenuhnya mengatur tanah-tanah dengan hak-hak
Indonesia, meski ada beberapa tanah-tanah agrarisch eigendom milik kota
Yogyakarta, Surakarta, dan tanah-tanah grant di Sumatra Timur.
Sejarah Hukum agraria adat mengatur tanah-tanah di Indonesia sepanjang tidak diadakan
ketentuan khusus untuk hak-hak tertentu. Karena tidak semua tanah-tanah
Indonesia adalah tanah-tanah yang mempunyai status sebagai hak-hak asli adat,
tetapi ada juga yang berstatus buatan Belanda seperti tanah agrarisch eigondom.
Hak tersebut ialah hak milik, yaitu hak Indonesia yang subjeknya terbatas pada
orang-orang dari golongan Timur Asing, terutama Timur Asing Tionghwa.
Sejarah Hukum Agraria Barat Berjiwa Liberal
Individualitis
Sifat Individualistis dalam sejarah hukum agraria ini dapat
diketahui dalam pengertian tentang hak eigendom sebagai hak atas benda yang penuh
dan mutlak. Hak eigendom adalah hak yang
memberi wewenang penuh untuk menikmati penggunaan tanah untuk berbuat bebas
terhadap tanah itu dengan kekuasaan penuh, sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang ditetapkan oleh badan-badan
penguasa yang berwewenang dan tidak mengganggu hak-hak orang lain.
Sejarah Hukum agraria barat dengan jelas menempatkan hak eigendom telah memberi
wewenang kepada pemilik tanah yang bisa berbuat bebas dengan tanah yang
dimilikinya. Dengan hak tersebut pemilik tanah bisa berbuat bebas untuk
mempergunakan maupun tidak. Oleh karena itu hukum agraria barat ini tidak dapat
terus dipertahankan.
Sejarah hukum agraria
lama tersebut dalam banyak hal, tidak
merupakan alat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur, bahkan
merupakan penghambat pencapaiannya. Hal itu terutama disebabkan karena :
- Sejarah Hukum agraria lama itu sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan, sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat didalam melaksanakan pembangunan nasional.
- Sejarah Hukum agraria lama bersifat dualisme, yaitu berlakunya peraturan hukum adat disamping peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat.
- Bagi rakyat asli sejarah hukum agraria penjajahan tidak menjamin kepastian hukum seluruh rakyat Indonesia.
Dari
sejarah hukum agraria yang telah dijelaskan diatas diketahui bahwa hukum
agraria sebelum terbentuknya UUPA lebih menguntungkan bagi pemerintah
hindia-belanda yang pada saat itu membuat pengundangan Agrarische wet (1870).
Seperti yang diketahui bahwa Agrarische wet terbentuk atas adanya desakan para
pengusaha swasta asing yang menanamkan modalnya di hindia belanda, sebab dengan
adanya pasal 62 ayat 1,2, dan 3 (Regering Reglement) mereka sulit mendapatkan
tanah yang luas dengan jangka waktu yang lama dan hak atas tanah yang kuat maka
dari itu lahirlah Agrarische wet tahun 1870 tersebut.
Lalu dualisme hukum yang
dianut oleh sejarah hukum agraria lama mengakibatkan ketidakpastian bagi sejarah
hukum agraria adat karena tanah-tanah barat didaftarkan, terdapat lembaga
kadaster namun bagi tanah-tanah adat tidak didaftarkan sehingga tidak dapat
dibuktikan sebagai tanah-tanah adat dan menjadi domein Negara (milik Negara),
adanya asas domein verklaring tersebut berarti Negara bisa berbuat apa saja
atas tanah. Untuk lebih jelasnya bisa juga melihat/memperhatikan diktum UUPA
(UU No.5/1960) mengenai peraturan perundang-undangan yang dicabut, kita dapat
mengetahui sejarah hukum agraria mana saja yang pernah berlaku dinegara kita
sebagai bahan analisis dan perbandingan.
Kesimpulannya bahwa sejarah hukum agraria barat bertitik tolak dari
pengutamaan kepentingan pribadi sehingga pangkal dan pusat pengaturan terletak
pada eigendom-recht (hak eigendom) yaitu pemilikan perorangan yang penuh dan
mutlak, disamping domein verklaring (pernyataan domein) atas pemilikan tanah
oleh Negara. Hukum adat tanahnya sebagai bagian terpenting dari hukum adat,
bertitik tolak dari pemungutan kepentingan masyarakat (komunalistis) yang
berakibat senantiasa memperimbangkan antara kepentingan umum dan kepentingan
perorangan.
Perlu adanya usaha penyesuaian sejarah hukum agraria
kolonial dengan keadaan dan keperluan sesudah lahirnya UUPA atau sesudah
kemerdekaan yaitu yang pertama adalah menerapkan kebijaksanaan baru terhadap UU
keagrariaan yang lama, melalui penafsiran baru yang sesuai dengan situasi
kemerdekaan, UUD 1945, dan dasar Negara pancasila. Dalam tanah-tanah yang
statusnya adalah sebagai domein Negara sebaiknya juga dipergunakan secara baik
untuk dikelola dan demi kesejahteraan rakyat. Jadi asas domein veklaring
tersebut bukanlah semata-mata Negara mengusai tetapi Negara hanya mengelola
demi kesejahteraan rakyat
.
Pada
masa penjajahan jepang, sejarah hukum agraria yang berlaku sebelum masa penjajahan
Jepang masih tetap berlaku, karena masa penjajahan
yang begitu singkat belum sempat terpikirkan untuk mengadakan perombakan terhadap
hukum agraria. Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang sejarah hukum agraria
pada jaman Jepang, keculai kekacauan dan keadaan yang tidak menentu terhadap
penguasaan dan hak- hak atas tanah sebagaimana layaknya pada keadaan perang.
Pemerintah jepang dalam melaksanakan kebijakan pertahanan dapat dkatakan hampir
sama dengan kebijakan yang pemerintah hindia belanda. Penduduk jepang mengeluarkan
suatu kebijakan yang dituangkan dalam Osamu Serey nomor 2 tahun 1944,
dan Osamu Serey yang terakhir nomor 4 dan 25 tahun 1944.
sangat menambah wawasan ,, like it...
BalasHapussaya ingin bertnya: bagi masyarakat yang menerapkan hukum adat, tatkala memliki kepentingan yang berkaitan dengan tanah.
apakah tidak ada kekuatan hukum (kepastian hukum) mengenai tanah yang di batasi dengan ada nya lembaga kadaster itu ??
terima kasih atas, komentarnya. setahu saya dengan keptutusan MK no 35, masyarakat adat punya kewenangan untuk menentukan kawasan adatnya
Hapusmakasih sudah shere.. kunjungi juga
BalasHapusKewenangan Negara dalam Pengadaan Tanah
solusinya dari maslah dualisme ini?
BalasHapussaya ingin bertanya mengapa ketentuan hukum yang mengatur pertanahan di Indonesia pada masa sebelum berlakunya UUPA bersifat pluralistis dan dualistis!
BalasHapusSaya ingin bertanya apa perbedaan uud 1945 pasal 33 ayat 3 dengan peryataan domein veklaring
BalasHapusMengapa ketentuan hukum yang mengatur pertanahan di Indonesia pada masa sebelum berlakunya UUPA bersifat pluralistis dan dualistis!
BalasHapusMengapa ketentuan hukum yang mengatur pertanahan di Indonesia pada masa sebelum berlakunya UUPA bersifat pluralistis dan dualistis!
BalasHapus