Minggu, 16 Maret 2014

Ketimpangan Struktur Agraria Masa Kolonial

Berbicara tentang agraria atau tanah maka hal yang mengemuka adalah soal hidup dan penghidupan manusia. Khususnya bagi kaum tani yang tidak bertanah. Karena kita tidak bisa memisahkan antara kaum tani dengan yang namanya tanah sebagai basis produksi mereka. Tanah juga merupakan sumber makanan. Maka muncul slogan yang berbunyi: "Siapa yang menguasai tanah berarti sekaligus menguasai sumber makanan". Dari slogan tersebut perebutan penguasaan tanah sebagai sumber penghidupan manusia selalu menciptakan konflik dan peperangan dari sejak dulu hingga sekarang. Kita bisa mengkatagorikan perebutan penguasaan tanah di Indonesia setidaknya mulai sejak masa Feodalisme, Kolonialisme, Liberalisasi.

Pada masa Feodalisme, raja sepenuhnya menguasai tanah. Karena Raja adalah wakil Tuhan atau Dewa di muka bumi ini. Bahkan raja juga bisa menggunakan dan memanfaatkan petani untuk kepentingan dan kehormatannya. Pada masa itu,raja menyerahkan tanah kepada keluarga istana atau pegawainya, keluarga raja atau para bangsawan tersebut kemudian menyerahkan penggarapan tanah kepada petani, dan petani memberikan upeti hasil penggarpan tanah kepada raja dan keluarganya di istana. Kelak dalam perkembangannya metode tersebut diadopsi oleh Raffles dengan mengeluarkan kebijakan LANDRENTE atau sistem sewa tanah. Maka kemudian muncul teori DOMEIN. Atas dasar penafsiran tersebut, bahwa rakykat yang telah menggarap tanah tapi dalam prakteknya rajalah yang mempunyainya. Setelah pemerintahan kolonial berhasil menaklukkan raja-raja di nusantara, maka kekuasaan atas tanah berpindah dari kerajaan ke pemerintahan kolonial yang saat ini kita menyebutnya sebagai tanah negara. Kemudian petani mengerjakan tanah tersebut dan harus membayar sewa atau rent tanah.

Karena pada saat itu krisis sekonomi sedang melanda negeri Belanda yang membutuhkan dana cukup besar, maka Van Den Bosh(1627- 18299) mengganti sistem Landrente dengan Culiturstelsel. Konsep ini menyatakan bahwa pemerintahan jajahan Belanda tidak lagi menarik sewa tanah kepada petani. tetapi petani harus menggarap dari seperlima tanah terbaiknya untuk menanam tanaman eksport, dan pemerintahan kolonial tidak akan membayar tenaga kerja mereka. Culturstelsel ini menimbulkan kemiskinan dan penderitaan bagi petani. Sebaliknya pemerintah kolinal Belanda mengambil keuntungan dari sistim ini 25 juta golden. Dana yang cukup besar pada saat itu sehingga kerajaan Belanda bisa membangun rekonstruksi seluruh kota yang hancur pada saat Jerman menggempur negara mereka.

Masuk pada periode liberalisasi, di Belanda terjadi perdebatan dua aliran utama tentang kebijakan agraria di tanah jajahan, yang pertama ialah aliran konservatif yang mendukung tetap melaksanakan sistem cultuurstelsel, dan yang kedua aliran liberal yang menuntut untuk menghentikan sistem culturrstelsel ini, dan memberikan ruang yang lebih luas bagi perusahaan partikelir atau swasta untuk menguasai dan mengelola tanah di Indonesia. Menteri jajahan Belanda saat itu VD Putte (1866) juga mengusulkan perubahan hukum agraria di Indonesia yakni partikelir akan membeli seluruh tanah yang berupa hutan belukar (woste gronden) dan akan mengusahakan sebaik-baiknya. Pihak Belanda akan memberikan hak eigendom kepada petani Indonesia. Namun pemerintah kerajaan Belanda menolak usul ini.

Baru pada tahun 1870, menteri jajahan De Waal menyusun kembali hukum agraria sebagai hasil kompromi antar dua kubu. Tepatnya pada tanggal 9 April 1870 pemerintah kolonial mengesahkan Agrarishce Wet atau hukum agraria. hukum agraria ini menyatakan bahwa seluruh hak negeri atas tanah disebut domeinverklaring yang kemudian melahirkan berbagai undang-undang pertanahan di Indonesia untuk kepentingan negara dan partikelir.

Inti dari DomeinVerklaring adalah bahwa negara memiliki semua tanah selain hak eigendom. Domenverklering membagi tanah negara menjadi dua macam yaitu tanah negara bebas, dimana perseorangan atau badan usaha belum mampu memiliki dan mengusahakn tanah negara, dan yang kedua adalah tanah negara yang diperuntukkan bagi perorangan atau badan usaha yang sudah memiliki atau mengusahakan tanah negara tersebut, bingung kan? nggak dong....

Undang-Undang Agraria 1870 menciptakan dualisme hukum agraria di Indonesia. pertama adalah hukum barat yang mengatur hak tanah bagi orang asing yang dalam Hukum Perdata sebagai jaminan perkembangan modal partikelir asing di Indonesia dengan hak benda yang kuat. Dan yang kedua adalah hukum adat yang mengatur hak tanah bagi rakyat Indonesia yang berlaku menurut hukum adat. Hak tanah bagi orang asing adalah hak eigendom, hak opstal, hak erphacht, dan hak pakai.

Hakekat dari hukum Agraria 1870 adalah menampung liberalisasi ekonomi-politik di Indonesia atau ekonomi-politik terbuka. perkawinan antara sistem feodalisme dengan sistem kapitalisme. Pencakokan sistem kapitalisme di atas sistem feodalisme yang masih berlaku. tidak mengganti sistem feodalilsme seperti negara-negara lain. pergantian atau pemindahan sistem eksploitasi dari negara ke partikelir dengan dukungan dan perlindungan negara kolonial.

Pembagian kekayaan pada masa Kolonial bibagi menjadi tiga bagian. dimana penduduk rakyat Indonesia yang mencapai 98 persen, kekayaan yang diterima hanya duapuluh persen,Orang Eropa atau Belanda yang jumlah penduduknya kurang dari satu persen menerima kekayaan sebesar enampuluh persen. sisanya adalah orang asing lainnya yang berjumlah kurang dari dua persen menerima kekayaan sebesar dua puluh persen atau sama dengan penduduk pribumi.































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar