Jumat, 23 Mei 2014

Demokrasi Terpimpin

Pada tahun 1959 sampai dengan tahun 1966, Indonesia menjalankan sistem Demokrasi Terpimpin. Dimana dalam sistem demokrasi ini seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara yang kala itu dipegang oleh Presiden Soekarno. Presiden Soekarno mengumumkan konsep Demokrasi Terpimpin pertama kali dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.

Pada awalnya partai-partai besar seperti Masyumi, Nahdathul Ulama, dan Serikat Islam menolak gagasan ini. Karena kepartaian merupakan wujud demokrasi, hanya Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mendukung gagasan tersebut. Ide mengenai Demokrasi Terpimpin baru terwujud setelah Soekarno berhasil mengeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem pemerintahan pun berganti menjadi Sistem Presidensial. Sistem ini menggantikan sistem parlementer yang terlalu liberal. Dengan berlakunya sistem ini, Presiden Soekarno merupakan pemimpin pemerintahan dan bertindak sebagai kepala negara serta membentuk Kabinet Kerja yang menteri-menterinya tidak terikat kepada partai lagi.

Menurut Soekarno, demokrasi liberal yang berjalan sebelumnya tidak dapat menciptakan kestabilan politik dan tidak mendorong Indonesia mendekati tujuan revolusi yang berupa masyarakat adil dan makmur. Menurut Soekarno, penerapan sistim Demokrasi Barat tidak menyebabkan terbentuknya pemerintahan yang kuat untuk membangun Indonesia. Sehingga pada gilirannya pemerintah sulit memajukan pembangunan ekonomi. Karena semua pihak baik sipil maupun militer- yang pada saat itu dapat menentukan sikap saling berebut keuntungan dengan mengorbankan yang lain.

Sebaliknya Presiden Soekarno ingin melihat bangsa Indonesia yang kuat dan bersatu padu sebagaimana pada awal-awal kemerdekaan dulu. Dari Sabang sampai Merauke. Soekarno menganggap bahwa UUDS 1950 telah melakukan penyimpangan-penyimpangan dari cita-cita luhur proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan dalih seperti itu lalu Presiden Sukarno mencanangkan Demokrasi Terpimpin dalam politik di negeri Republik Indonesia.

Pelaksanaan dari sistem Demokrasi terpimpin tersebut kemudian memunculkan keadaan yang menempatkan pada dominasi presiden yang sangat kuat. Presiden Soekarno berperan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu juga meluasnya peran militer sebagai unsur politik. Soekarno menyatukan TNI dan POLRI menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang terdiri atas empat angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian. Seorang Menteri Panglima Angkatan yang kedudukannya langsung berada di bawah Presiden /Panglima Tertinggi ABRI memimpin masing-masing angkatan. Golongan ABRI menjelma sebagai salah satu golongan fungsional dan menjadi salah satu kekuatan sosial politik. Dengan demikian, ABRI dapat memainkan peranannya sebagai salah satu kekuatan sosial politik. Dan yang paling terasa adalah berkembangnya pengaruh Partai Komunis Indonesia.

Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata.Peran partai politik pada masa demokrasi terpimpin sangat terbatas. Soekarno mengangagap Partai politik sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia. Soekarno menekan untuk membubarkan Partai-partai yang pada waktu itu berjumlah sebanyak 40 partai. Namun demikian, Demokrasi Terpimpin masih menyisakan sepuluh partai untuk tetap berkembang. Tetapi semua wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada segala kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan doktrin presiden. Partai politik dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi Soekarno. Penetapan Presiden (Penpres) adalah senjata Soekarno yang paling ampuh untuk melumpuhkan apa saja yang menghalangi jalannya revolusi.

Soekarno membubarkan dengan paksa beberapa partai yang terlibat dalam pemberontakan sepanjang tahun 1950an, seperti Masyumi dan PSI. Soekarno melakukan Pembubaran tersebut dengan cara menerapkan Penerapan Presiden (Penpres) pada tanggal 31 Desember 1959. Peraturan tersebut mengatur beberapa persyaratan partai, antara lain:
1. Menerima dan membela Konstitusi 1945 dan Pancasila
2. Menggunakan cara-cara damai dan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita politiknya
3. Menerima bantuan luar negeri hanya seizin pemerintah
4. Partai-partai harus mempunyai cabang-cabang yang terbesar paling sedikit di seperempat jumlah daerah tingkat I dan jumlah cabang-cabang itu harus sekurang-kurangnya seperempat dari jumlah daerah tingkat II seluruh wilayah Republik Indonesia
5. Presiden berhak menyelidiki administrasi dan keuangan partai
6. Presiden berhak membubarkan partai, yang programnya diarahkan untuk merongrong politik pemerintah atau yang secara resmi tidak mengutuk anggotanya partai, yang membantu pemberontakan

Melalui Keppres No. 128 tahun 1961, pemerintah hanya mengakui partai-partai antara lain: PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII dan IPKI. Sedangkan Keppres No. 129 tahun 1961 menolak untuk mengaakui PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo dan partai rakyat nasional Djodi Goondokusumo. Selanjutnya melalui Keppres No. 440 tahun 1961 telah pula mengakui Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti). Demikianlah kehidupan partai-partai politik di masa Demokrasi Terpimpin.

Dalam penggambaran kiprah partai politik di percaturan politik nasional, maka ada satu partai yang pergerakan serta peranannya begitu dominan yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-Angkatan Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran mengenai kehidupan partai politik pada masa demokrasi terpimpin, tidak dapat melepaskan pergerakan PKI pada masa itu.
PKI menghimpun massa dengan intensif dan segala cara, baik secara etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang sedemikian progresifnya dalam pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah partai besar pada akhir periode Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah memiliki tiga juta orang anggota ditambah 17 juta pengikut.

Hubungan antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi presiden seumur hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di unsur kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat angkatan lain, seperti TNI-Angkatan Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer dan menungganginya. Keretakan hubungan antara Soekarno dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. PKI memanfaarkan keadaan ini untuk mencapai tujuan politiknya.

Presiden Soekarno sebagai pemilik ide Demokrasi Terpimpin, pada pelaksanaannya ternyata memiliki penafsiran sendiri yang berbeda mengenai dasar dan makna Demokrasi Terpimpin yang terletak pada kata terpimpin. Soekarno menafsirkan Demokrasi Terpimpin dengan pimpinan terletak di tangan Pemimpin Besar Revolusi. Hal ini kemudian merujuk pada Soekarno sebagai pemegang pemusatan kekuasaan. Pemusatan kekuasaan yang mutlak pada presiden ini bertentangan dengan isi Undang-Undang Dasar 1945 saat itu yang menyatakan bahwa presiden merupakan mandataris MPR, dengan demikian presiden berada di bawah MPR.

Selain itu, dalam Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno mengangkat anggota MPRS dan menentukan apa saja yang harus diputuskan oleh MPRS. Presiden Soekarno juga menetapkan Manipol (Manifesto Politik) sebagai GBHN yang ditetapkan dalam Pen-Pres No.1 Tahun 1960. Manipol USDEK (manifesto politik, undang-undang dasar, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia) dijadikan GBHN tahun 1960. DPA yang bersidang tanggal 23-25 September 1959 mengusulkan agar Manifestio Politik Republik Indoneia itu dijadi-kan Garis-garis Besar Haluan Negara. Sebelumnya Presiden Sukarno dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959 membacakan manifesto politik republik Indonesia dengan judul "Penemuan Kembali Revolusi Kita".

Presiden juga membubarkan DPR hasil Pemilu 1955(Pen-Pres No.3 Tahun 1960),dan membentuk DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong_Pen-Pres No.4 Tahun 1960). Anggota DPR hasil pemilu tahun 1955 mencoba menjalankan fungsinya dengan menolak RAPBN yang diajukan oleh Presiden. Akibatnya Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu dan mengganti dengan pembentukkan DPR-GR.

Konsep Pancasila berubah menjadi konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis) Konsep Nasakom ini kemudian memberi peluang kepada PKI untuk memperluas dan mengembangkan pengaruhnya. Secara perlahan dan hati-hati, PKI berusaha untuk menggeser kekuatan-kekuatan yang berusaha menghalanginya. Sasaran PKI selanjutnya adalah berusaha menggeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi komunis. Setelah itu, PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah. Untuk mewujudkan rencananya, PKI mempengaruhi sistem Demokrasi Terpimpin. Bahkan melalui Nasakom, PKI berhasil meyakinkan Presiden Soekarno bahwa Presiden Soekarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI


Pelaksanaan politik bebas aktif yang cenderung memihak komunis.Arah politik luar negeri Indonesia mengalami penyimpangan dari politik luar negeri bebas-aktif menjadi condong pada salah satu poros. Pada masa itu diberlakukan politik konfrontasi yang mengarah pada negara-negara kapitalis, seperti negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces)melandasi terjadinya politik konfrontasi tersebut. Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara komunis umumnya) yang anti terhadap imperialisme dan kolonialisme. Sedangkan Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim). Bentuk perwujudan poros anti imperialis dan kolonialis itu kemudian membentuk poros Jakarta - Phnom Penh - Hanoi - Peking - Pyong Yang.


Akibatnya terjadi ketidakstabilan politik dan ketatanegaraan. Perpecahan, pemberontakan dan konflik pun terjadi, beberapa pemberontakan daerah menginginkan untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberontakan ini sekaligus menjadi tantangan bagi pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan Negara Indonesia, karena pada saat itu beberapa pemberontakan sudah terjadi sebelum masa Demokrasi Terpimpin.

Selain gejolak yang muncul di daerah, pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno menyatakan konfrontasi dengan Malaysia. Konflik internasional Indonesia dengan negara satu rumpun ini menyebabkan keresahan semakin merebak di tengah masyarakat. Pada 1961 terjadi peristiwa klaim federasi Malaysia yang akan menggabungkan wilayah Brunei, Sabah, Serawak dan Singapura menjadi Persekutuan Tanah Melayu. Peristiwa ini membuat Indonesia dan negara lain kecewa karena dianggap sebagai proyek Neo-Kapitalisme dan Imperialisme di kawasan Asia Tenggara. Terhadap sikap Indonesia ini Malaysia melakukan demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur. Setelah adanya demonstrasi tersebut melalui Menteri Luar Negeri Soebandrio Indonesia menyatakan permusuhan dengan Malaysia yang memunculkan istilah Ganyang Malaysia dan Dwikora (Dwi Komando Rakyat) yang berisi:
• Perhebat ketahanan revolusi Indonesia
• Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak dan Sabah untuk menghancurkan Malaysia.
Menurut Presiden Soekarno Dwikora ini merupakan bentuk penjagaan harga diri Indonesia di wilayah Asia Tenggara.

Pada 1965 muncul sebuah isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Berdasar pada isu tersebut lahirlah sebuah Gerakan 30 September 1965 yang menyebabkan terbunuhnya enam jenderal senior angkatan darat dari tujuh yang ditargetkan, beruntung Jenderal A.H Nasution berhasil menyelamatkan diri.
Gerakan 30 September 1965 ini mengagetkan Presiden Soekarno yang pada saat itu sedang sakit, untuk stabilitas nasional Presiden Soekarno memerintahkan Mayor Jenderal Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad) untuk melakukan penumpasan gerakan tersebut. Setelah penumpasan Gerakan 30 September 1965 selesai dengan cara menangkap dan membunuh ratusan ribu anggota PKI , Mayjen Soeharto mengambil alih kekuasaan berdasarkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).

Keluarnya Supersemar menjadi titik akhir pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang menjadi penggalan sejarah pelaksanaan demokrasi di Indonesia, sekaligus menutup masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Kehidupan demokrasi Indonesia pun berlanjut dan berganti menjadi Demokrasi Pancasila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar